Sumber : instagram.com/farid.rahman_ |
Bicara mengenai kampus impian, sebenarnya ITB sudah cukup lama bersemayam dalam pikiranku. Setiap kali memikirkan ITB, aku selalu terbayang akan Kota Bandung yang cantik dan berhawa dingin. Membuatku terpikir, betapa menyenangkannya kehidupanku bila aku berkesempatan kuliah di sana.
Tapi, intinya, kuliah itu berjuang ya. Mau bahagia atau tidaknya kuliah, pada hakikatnya kita berjihad menuntut ilmu. Jangankan ketika kuliah, untuk masuknya saja butuh perjuangan, iya kan :)
Oh ya, postingan kali ini sekaligus membahas perihal SBMPTN yang telah aku singgung sedikit pada postingan sebelumnya. Alhamdulillah, saat ini aku telah diberi amanah sebagai mahasiswi SITH-S ITB 2018. Mungkin kalian masih awam dengan nama SITH itu sendiri? hehehe. Jadi, SITH merupakan kependekan dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati. Merupakan sebuah keunikan tersendiri di mana disiplin ilmu biologi terpisahkan dari fakultas ilmu eksakta lainnya di ITB. Sebenarnya SITH sendiri terdiri dari cabang sekolah yang berbeda, yakni R untuk Rekayasa dan S untuk Sains. Bagi kalian yang tertarik dengan aplikasi biologi dan perteknikan, SITH-R lah pilihan yang cocok untuk kalian. Jangan tertukar dengan SITH-S ya, karena SITH-S itu berfokus pada pembahasan ilmu murninya, yaitu Biologi.
Kali ini aku mau sharing bagaimana perjuanganku dulu sebelum masuk SITH-S ITB, yang kuharap memang pemberian terbaik dari Allah untukku.
Berawal dari kecintaanku pada pelajaran biologi. Saat awal masuk SMA, aku ingin sekali berkuliah di jurusan ilmu murni tersebut. Aku memang jatuh cinta pada ITB, namun tak pernah terpikirkan olehku untuk mencantumkan ITB pada seleksi PTN yang akan aku ikuti. Aku bukan siswa yang cerdas saat SMA. Aku sangat ceroboh dan bahkan seringkali mengikuti remedial terutama untuk pelajaran kimia dan matematika. Maka mengharapkan SNMPTN dan ITB, untuk manusia tak pandai sepertiku, sama halnya dengan tidak tahu diri.
Saat itu, aku tak banyak tergugah untuk meraih nilai tinggi, dan justru lebih berfokus pada kegiatan nonakademis seperti ekstrakulikuler. Namun, aku tidak pernah ragu untuk menceritakan mimpiku agar bisa berkuliah di jurusan Biologi. Dan saat itu, orientasi kampusku adalah UI, karena terbilang dekat dari tempat tinggalku.
Ayahku memiliki banyak relasi. Dan aku sangat diuntungkan karena bisa menerima layanan bimbel gratis dari temannya. Namun, aku sangat bodoh karena tidak mampu memanfaatkannya dengan baik. Aku kerap izin bimbel, mayoritas karena alasan eskul. Karena terlalu banyak izin, aku yang tidak enak hati pun memutuskan untuk mengundurkan diri.
Berlanjut di jenjang akhir SMA, aku memutuskan untuk mendaftar bimbingan belajar yang diselenggarakan oleh KSE UI, yakni Rupin (Rumah Pintar). Untuk menjadi siswa Rupin, aku harus melewati serangkaian seleksi, mulai dari seleksi berkas, wawancara, ujian tulis, kbm, sampai tes evaluasi. Aku benar-benar bertekad untuk diterima, sebab aku tahu persaingan SBMPTN sangatlah ketat. Aku tak yakin dengan belajar otodidak hasilnya akan maksimal.
Hingga seleksi terakhir, aku dinyatakan sebagai salah satu peserta yang berhasil lulus menjadi siswa Rupin, angkatan 7. Suasana Rupin yang begitu kental dengan kekeluargaannya membuatku nyaman dan mendapat relasi pertemanan dari berbagai SMA di wilayah jabodetabek. Kegiatan belajar mengajar di Rupin berlangsung hampir setiap hari dengan perjalanan pulang pergi yang harus kutempuh dari wilayah KSU ke Pondokcina terbilang cukup jauh. Namun, hal itu tidak seberapa dibandingkan dengan temanku yang berasal dari Bekasi.
Bersama teman RUPIN kelas IPA A, jalan-jalan ke Kota Tua |
Dengan diterimanya aku di Rupin, setidaknya aku lebih tenang karena sudah memiliki modal belajar. Apalagi kami sudah mulai fokus SBMPTN sejak awal semester 2. Aku tahu, aku tidak bisa terlalu berharap untuk mendapatkan Biologi UI lewat jalur undangan seperti teman-temanku yang lain. Namun, aku anggap saat-saat itu sebagai ajang pembuktian bahwa siswa berperingkat di bawah 100 sepertiku pun bisa diterima di UI.
Aku masih idealis menjawab Biologi UI sebagai pilihan utama kuliahku, di saat teman-temanku masih membingungkan pilihan jurusan. Saat itu pula, aku pun tidak sadar hambatan apa yang akan menyambutku esok.
Kesulitan pertama ketika masing-masing dari kami menentukan pilihan jurusan. Permasalahan yang klasik, yakni ketika pilihan teman-temanku pun berlabuh pada pilihan yang sama denganku. Itu artinya, mereka juga menjadi sainganku nanti. Sebenarnya wajar, namun, karena sejak awal aku sudah menceritakan impianku pada mereka, entah mengapa ada rasa tidak nyaman di sana. Entahlah bagaimana menjelaskannya. Yang kuingat aku jadi menyimpan penyesalan untuk menceritakan rencana hidupku pada mereka.
Oh iya, setelah itu aku memutuskan untuk menaruh Biologi UI pada pilihan kedua, sedangkan pilihan pertamaku adalah SITH-S ITB. Sebenarnya alasanku sederhana, aku tidak suka pilihan mainstream. Dan mengingat pilihan teman-temanku yang semakin mendekati seleraku, aku jadi menilai pilihanku sebelumnya sudah mainstream dan ingin beralih ke jurusan lain, yang tidak banyak teman-temanku pilih. Ya, saat itu aku sudah melirik ITB.
Kesulitan lainnya adalah mengenai prioritasku. Aku sangat ingin berkuliah tahun ini, itulah mengapa aku begitu berusaha untuk fokus belajar SBMPTN selepas regenerasi eskulku. Prioritasku untuk belajar sempat membuatku bersilang pendapat dengan teman-teman yang sekaligus sahabat SMA-ku. Mereka ingin bonding kembali selepas regenerasi. Itu tak salah, aku pun ingin. Namun, aku tak ingin melalaikan kesempatan bimbelku lagi seperti kemarin. Memang mungkin aku juga salah karena tidak memberikan kejelasan lebih lanjut pada mereka. Karenanya, hubungan kami sempat merenggang saat itu.
Tibalah saat hari-H SBMPTN, 16 Mei 2017. Aku bangun dan berangkat lebih awal. Sejak H-1 aku sudah tidak membuka buku, mengingat saran dari beberapa alumni dan cerita di instagram yang menganjurkan begitu. Namun, aku salah duga. Kesalahanku adalah sama sekali tidak belajar dan mereview saat H-1. Selain itu, mungkin ada kesalahan lainnya yang tidak aku sadari, sehingga saat mengerjakan soal pikiranku benar-benar sulit untuk fokus. Aku sangat tidak puas dan rasanya ingin menangis, sebab perjuanganku selama satu semester ini berakhir mengenaskan pada hari-H pertempuran. Karena itu, aku punya firasat kuat hasil SBMPTN-ku tidak memuaskan.
Selain SBMPTN, aku juga mengikuti SIMAK UI. Sebenarnya aku lebih tenang dalam melaluinya. Namun, karena bayaran SIMAK UI sangat mahal dan tidak bisa mengajukan keringanan, ibuku sempat keceplosan mengatakan keberatannya apabila aku lulus SIMAK. Memang benar, ridho Allah terletak dari ridho orang tua. Sebesar apapun yakinnya aku, pengumuman mengatakan aku tidak lolos SIMAK UI!
Bagaimana dengan hasil SBMPTN? Tidak usah ditanya :)
“Tetap semangat dan jangan berputus asa”
Tulisan penyemangat yang seringkali tetap membuat penerimanya berputus asa ☺
Aku yang awalnya berencana mengikuti berbagai ujian mandiri, akhirnya memutuskan untuk mundur dan memilih mengulang ujian di tahun depan. Ya, aku mengambil gap year. Sebuah keputusan yang sangat alot aku pertahankan di depan ayahku, di depan keluargaku, di depan teman-temanku. Aku sadar, gap year masih menjadi stigma di kalangan masyarakat. Tentu aku juga malu pada diriku sendiri. Namun, aku tetap bertahan pada prinsip yang aku anut. Aku tidak ingin mengambil bangku kuliah dari mereka yang benar-benar siap untuk kuliah tahun ini. Biarlah aku mundur sejenak, terima saja segala sentimen negatif mereka.
Kalau ditanya, seberapa kuat aku menerimanya? Sejujurnya aku pun tidak menerimanya begitu saja. Ada hari-hari di mana aku merasa sangat down, seperti depresi mungkin. Mendekam di kamar, tidak mau melakukan apapun, dan seringkali mimpi buruk. Kualami itu selama sebulan sebelum menjalani rutinitas baru: sebagai siswa RONIN NF.
Sebelumnya ayahku sempat membujukku untuk les lagi saja di bimbel milik temannya. Namun, aku sudah terlalu malu untuk menerimanya. Saat itu aku benar-benar ingin mencari lingkungan baru. Dan dari sekian banyak NF di kotaku, Depok, akhirnya aku memilih bimbel NF yang terbilang jauh dari rumahku, yakni NF Akses UI.
Kenapa ingin di sana? Karena memang itu rekomendasi terbanyak yang kudapat dari kakak kelasku yang sebelumnya juga meronin.
Akhirnya orangtuaku pun menyetujuinya. Namun dengan sedikit “ancaman”, kali ini semuanya harus aku lakukan dengan benar.
Aku tahu, saat itu aku sudah benar-benar keras kepala dan menyusahkan mereka, walaupun mereka tidak pernah mengatakannya secara langsung. Aku anggap saja itu berarti, “Kali ini aku harus benar-benar fokus.”
Dengan resmi mendaftar ronin, maka dimulailah kisah gap yearku..
(bersambung)
Komentar
Posting Komentar